SPIRITUAL QUANTUM TEACHING - SERI PANDUAN SUKSES MULIA CARA MENGAJAR MENYENANGKAN
SPIRITUAL
QUANTUM TEACHING
Oleh
: Dedi Suhandi, S.Ag, M.Sy
Direktur Pendidikan PesantrenBisnis.com SMP IT dan SMK IT Istana Mulia
A. Pendahuluan
Guru adalah subjek
paling penting dalam keberlangsungan pendidikan. Tanpa guru, sulit dibayangkan
bagaimana pendidikan dapat berjalan. Bahkan meskipun ada teori yang mengatakan
bahwa keberadaan orang/manusia sebagai guru akan berpotensi menghambat
perkembangan peserta didik, tetapi keberadaan orang sebagai guru tetap tidak
mungkin dinafikankan sama sekali dari proses pendidikan.
Realitasnya, pendidikan
tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Secara umum, guru bisa siapa saja.
Justru guru yang pertama kali dijumpai oleh setiap orang adalah orang-tuanya
sendiri. Baru kemudian, guru pada pendidikan formal. Di tengah masyarakat,
pimpinan masyarakat juga dapat berfungsi sebagai pendidik untuk masyarakatnya.
Dalam pengertian yang luas seperti ini, maka siapa saja yang melakukan
pekerjaan berupa proses transper pengetahuan dan internalisasi nilai kepada
peserta didik, maka dapat disebut sebagai guru.
Peran guru demikian
penting dan menentukan. Ia melakukan cetak biru generasi muda. Oleh karena itu,
jika guru tidak memenuhi syarat-syarat kualitas dan kuantitas yang ideal, maka
akan berakibat terhadap perkembangan intelektual, emosional, sosial dan kinestetis
peserta didik.
B. Deskripsi
Teoritis: Guru dan Profil Guru
Guru (Pendidik)
Dalam syairnya, Ahmad
Syauqi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Munir Mursi mengatakan bahwa pada diri
guru ada kemuliaan. Hampir saja guru itu mendekati kerasulan.
Secara institusional,
guru memegang peranan yang cukup penting, baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaan kurikulum. Guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang
kurikulum bagi kelasnya. Dengan demikian, guru juga berperan melakukan evaluasi
dan penyempurnaan kurikulum.
Dalam Islam, istilah
pendidik disebut dengan beberapa istilah seperti muaddib, murabbi dan mu’allim.
Walaupun ketiga istilah itu masih terbedakan karena masing-masing memiliki
konotasi dan penekanan makna yang agak berbeda, namun dalam sejarah pendidikan
Islam ketiganya selalu digunakan secara bergantian. Pertanyaan yang menggelitik
kemudian, siapakah pendidik itu?
Dalam sebuah hadis Nabi bersabda:
أدبنى
ربى فأحسن تأد يبى
“Tuhanku telah mendidikku, maka
menjadi baiklah pendidikanku”.
Dalam penggalan hadis
ini, maka nyatalah bahwa Allah SWT adalah Pendidik Agung bagi para Nabi dan
seluruh alam semesta. Dja’far Siddik mengatakan, “Dialah Muaddib Agung, dan Dia
pulalah Murabbi Agung yang telah mendidik para Nabi dan Rasul-Nya. Dia juga
Mu’allim Agung yang telah membelajarkan Adam as, nenek moyang umat manusia
tentang segala sesuatu.”
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka Allah pulalah sesungguhnya pendidik agung manusia. Hanya saja
dalam operasionalnya, Allah Swt tidaklah berinteraksi secara langsung dengan
manusia. Dia mengutus para Rasul untuk mendidik manusia ke jalan yang
diridai-Nya. Dengan demikian, para Rasul pulalah yang mengambil peranan sebagai
pendidik bagi umat manusia.
Dalam unit kehidupan
sosial terkecil yakni keluarga, orang tua menjadi pendidik utama bagi anak dan
keluarganya. Dalam surat at-Tahrim/66 ayat 6 Allah SWT mewajibkan setiap orang
untuk mendidik dan memelihara diri pribadinya dan sekaligus membimbing
keluarganya agar tidak tergelincir ke dalam api neraka.
Dalam kehidupan sosial
yang lebih luas, yang berperan sebagai pendidik adalah terutama para ‘ulama
dan ahl al-zikr. Namun dalam konteks pendidikan yang lebih luas, maka
pada diri setiap orang sesungguhnya melekat kewajiban untuk mendidik. Hanya
saja ulama dan ahl zikir secara khusus diberi amanah sebagai
pendidik. Nabi Saw bersabda:
العلماء
ورثة الانبياء
Ulama adalah pewaris para Nabi.
Berdasarkan penekanan
khusus kepada para ulama dan ahl al-zikr tersebut, maka tidak
mengherankan jika para pakar pendidikan Islam menetapkan syarat-syarat yang
cukup ketat sebagai kriteria yang seyogianya dimiliki oleh pendidik. Criteria
dimaksud seperti khasyyah, istiqamah, sabar, berilmu, cerdas dan
terampil, penyantun, dan berbagai sifat terpuji lainnya yang menunjukkan
kemuliaan dan beratnya beban tugas seorang pendidik.
Selain itu, para ahli
didik Muslim merumuskan berbagai pedoman lain yang menyangkut dengan sifat,
sikap dan perbuatan yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang pendidik
Muslim. An-Nahlawi misalnya mengemukakan sepuluh pedoman pokok pendidik Muslim,
yaitu:
1.
Mempunyai watak dan sifat rabbaniyah
yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
2.
Bersifat ikhlas, yakni
sebagai orang berilmu dan profesi pendidik, ia hanya mencari keridaan Allah dan
menegakkan kebenaran.
3.
Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai
pengetahuan.
4.
Jujur dalam menyampaikan apa yang
diketahuinya.
5.
Senantiasa membekali diri
dengan ilmu dan kesediaan diri untuk terus mengkajinya.
6.
Mampu menggunakan metode
mengajar secara bervariasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan
metode.
7.
Mampu mengelola kelas dan
peserta didik, tegas dalam bertindak dan professional.
8.
Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
9.
Tanggap terhadap berbagai
kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan pola pikir
peserta didik.
10. Bersikap adil terhadap para pelajar.
Dalam pelaksanaan tugas
keguruan terutama dalam pembelajaran, menurut Mulyasa, guru harus kreatif,
professional, dan menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai berikut:
1.
Orang tua yang penuh kasih
sayang pada peserta didiknya.
2.
Teman, tempat mengadu, dan
mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.
3.
Fasilitator yang selalu siap memberikan
kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan dan bakatnya.
4.
Memberikan sumbangan
pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi
anak dan memberikan saran pemecahannya.
5.
Memupuk rasa percaya diri,
berani dan bertanggung jawab.
6.
Membiaskan peserta didik
untuk saling berhubungan (bersilaturrahmi) dengan orang lain secara wajar.
7.
Mengembangkan proses
sosialisasi yang wajar antarpeserta didik, orang lain dan lingkungannya.
8.
Mengembangkan kreativitas.
9.
Menjadi pembantu ketika
diperlukan.
Profil Guru
Dalam bahasa Inggris,
kata benda profile artinya tampang/raut muka, riwayat. Profil yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah tampilan atau penampakan kualitatif seorang
guru (pendidik) berupa pikir, sikap dan laku/perbuatan guru. Dalam istilah
kependidikan, tampilan atau penampakan kualitatif dimaksud setidaknya dapat
bermakna karakteristik, kinerja, profesi, kompetensi dan etika guru. Kelima
istilah ini sebenarnya saling berkaitan. Inti pokoknya menurut hemat penulis
berada pada kompetensi profesional guru.
Oleh karena itu,
pembicaraan tentang profil guru pada hakikatnya adalah pembicaraan tentang
kompetensi profesional guru. Secara lebih spesifik, kompetensi dimaksud dapat
dilihat dari kriteria profesional jabatan guru mencakup fisik, kepribadian,
keilmuan dan keterampilan. Dalam pengembangannya kemudian berupa kemampuan
dasar (kepribadian), kemampuan mengajar, dan kemampuan keterampilan. Secara
lebih rinci sebagai berikut:
1.
Kemampuan Dasar Guru
(Kepribadian) berupa: beriman dan bertakwa, berwawasan Pancasila, mandiri penuh
tanggung jawab, berwibawa, berdisiplin dan berdedikasi, bersosialisasi dengan
masyarakat, dan mencintai peserta didik dan peduli terhadap pendidikannya.
2.
Kemampuan umum guru
(kemampuan mengajar): menguasai ilmu pendidikan dan keguruan, menguasai
kurikulum, menguasai didaktik metodik umum, menguasai pengelolaan kelas,
melaksanakan monitoring dan evaluasi peserta didik, kemampuan pengembangan dan
aktualisasi diri
3.
Kemampuan khusus
(pengembangan keterampilan mengajar), meliputi: keterampilan bertanya, memberi
penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran,
membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas, dan mengajar kelompok kecil
dan perorangan.
Secara operasional,
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (1999) sebagaimana dikutip
oleh Hamzah B. Uno telah membakukan kompetensi guru sebagai berikut:
1.
Mengembangkan
kepribadian.
2.
Menguasai
landasan kependidikan.
3.
Menguasai
bahan pelajaran.
4.
Menyusun
program pengajaran.
5.
Melaksanakan
program pengajaran.
6.
Menilai
hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan.
7.
Menyelenggarakan
penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
8.
Menyelenggarakan
program bimbingan.
9.
Berinteraksi
dengan sejawat dan masyarakat.
10.
Menyelenggarakan
administrasi sekolah.
Penjelasan tentang
profil guru tidak akan sempurna jika meningglkan pembahasan tentang etika guru.
Etika guru merupakan salah satu subyek yang turut memberikan gambaran
menyeluruh tentang guru. Terlebih lagi, pendidik atau guru yang berhasil pasti
ditopang oleh suatu etika yang baik, dinamis dan progresif. Oleh karena itu,
seorang guru professional akan melandasi ruh dan pelaksanaan tugasnya dengan etika
yang demikian. Di bawah ini, akan dijelaskan kode etik pendidik di Indonesia
sebagaimana kutipan berikut:
1.
Beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Setia kepada Pancasila, UUD
1945 dan Negara.
3.
Menjungjung tinggi harkat
dan martabat peserta didik.
4.
Berbakti kepada peserta
didik dalam membantu mereka mengembangkan diri.
5.
Bersikap ilmiah dan
menjunjung tinggi pengetahuan, ilmu, teknologi dan seni sebagai wahana dalam
pengembangan peserta didik.
6.
Lebih mengutamakan tugas
pokok dan atau tuga negara lainnya dari pada tugas sampingan.
7.
Bertanggung jawab, jujur,
berprestasi, dan akuntabel dalam bekerja.
8.
Dalam bekerja berpegang
teguh kepada kebudayaan nasional dan ilmu pendidikan.
9.
Menjadi teladan dalam
berprilaku.
10. Berprakarsa.
11. Memiliki sifat kepemimpinan.
12. Menciptakan suasana belajar atau studi yang kondusif.
13. Memelihara keharmonisan pergaulan dan komunikasi serta bekerja
sama dengan baik dalam pendidikan.
14. Mengadakan kerja sama dengan orang tua siswa dan tokoh-tokoh
masyarakat.
15. Taat kepada peraturan
perundang-undangan dan kedinasan.
16. Mengembangkan profesi secara kontinu.
17. Secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi
profesi.
Profil Guru (Pendidik) dalam Perspektif
al-Quran
Setelah sebelumnya
dibahas panjang lebar tentang hakikat dan profil guru, yang berfungsi untuk
mempertajam pisau analisis dalam melihat aspek tersurat dan isyarat ayat
al-Quran tentang profil guru, maka pada bagian ini akan dintujukkan ayat-ayat
al-Quran yang memiliki makna yang sarih atau isyarat tentang guru
dan profil guru menurut al-Quran. Untuk memudahkan analisis, pertama-tama akan
dihimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan keguruan, kemudian menjelaskan makna
kosa katanya, setelah itu akan diakhiri dengan analisis tematik (maudu’i)
profil guru (pendidik) dalam perspektif al-Quran.
Dalam operasionalnya,
guru yang dimaksud dalam kajian ini adalah setiap orang yang melakukan
pekerjaan mendidik dalam arti luas, yakni segala usaha memanusiakan manusia
(humanisasi) yakni dalam bentuk internalisasi nilai dan transper pengetahuan dan
keterampilan. Dalam pengertian lain, yakni segala usaha yang bermakna
pendewasaan manusia. Di samping itu, Islam menambahkan, juga segala bentuk
penjagaan, pencegahan dan pelarangan manusia terhadap kemungkaran (destruksi
dunia-akhirat).
Ayat-ayat al-Quran yang memiliki kosa
kata yang mengandung makna guru (pendidik).
Ayat-ayat ini akan penulis susun secara
kronologis dengan memperhatikan nomor surat, begitu juga aspek makkiyah
dan madaniyah. Kronologi ini disusun berdasarkan mushaf Usmani.
Lebih ringkas ayat-ayat dimaksud sebagaimana
ditunjukkan pada tabel berikut:
No
|
Kosa kata
|
Nama/nomor
surat
dan nomor ayat
|
Kelompok
ayat
|
1
|
Ahl az-Zikr
|
An-Nahl/16: 43
|
Makkiyah
|
2
|
Mubasysyir
wa nazir
|
Al-Isra`/17:
105
|
Makkiyah
|
|
Al-Furqan/25:
57
|
Makkiyah
|
|
3
|
Ulama`
|
As-Syu’ara`/26:
197
|
Makkiyah
|
Fathir/35: 28
|
Makkiyah
|
||
4
|
Al-Muwa’iz
|
As-Syu’ara`/26:
136
|
Makkiyah
|
Luqman/31: 13
|
Makkiyah
|
||
Al-Baqarah/2:
231
|
Madaniyah
|
||
An-Nisa`/4
:63
|
Madaniyah
|
||
5
|
Uli al-Nuha
|
Taha/20: 54,
128
|
Makkiyah
|
6
|
Mu’allim
|
Al-Baqarah/2:
31,129, 151
|
Madaniyah
|
|
Ar-Rahman/55:2,4
|
Makkiyah
|
|
7
|
Murabbi
|
Ali Imran/3:
79
|
Madaniyah
|
8
|
Al-muzakki
|
Al-Baqarah/2:
129
|
Madaniyah
|
|
Al-Baqarah/2:
151
|
Madaniyah
|
|
|
Al-Baqarah/2:
174
|
Madaniyah
|
|
|
Al-Jumu’ah/62:
2
|
Madaniyah
|
|
9
|
Al-rasikhuna
fi al-‘ilmi
|
Ali Imran/3: 7
|
Madaniyah
|
|
An-Nisa`/4:
162
|
Madaniyah
|
|
10
|
Ulul albab
|
Ali Imran/3:
190
|
Madaniyah
|
11
|
Faqih
|
At-Taubah/9:
122
|
Madaniyah
|
12
|
Da’i
|
An-Nahl/16:
125
|
Makkiyah
|
|
Yusuf/12: 108
|
Madaniyah
|
|
13
|
Uli
al-Absar
|
Al-Hasyr/59: 2
|
Madaniyah
|
Analisis Ayat
Dengan memperhatikan
tabel di atas, maka susunan kosa kata yang bermakna pendidik (guru) dari yang
pertama sampai yang terakhir di dalam al-Quran adalah: ahl al-zikr,
mubassyir wa nazir, ‘ulama, al-muwaiz, uli al-nuha, mu’allim, al-muzakki,
murabbi, al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul albab, faqih, da’i
dan uli al-absar .
Kosa kata yang secara
eksplisit mengandung makna melakukan tugas mendidik adalah mubasysyir wa
nazir, muwaiz, mu’allim, murabbi, muzakki, dan da’i.
Sementara kosa kata lainnya yang mengandung makna keunggulan atau kualitas
personal atau kompetensi yang dimiliki seorang pendidik adalah ahl al-zikr,
‘ulama, uli al-nuha, al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul albab, faqih, dan
ulil al-absar..
Berdasarkan penelitian
terhadap ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas (sarīh) tentang
pekerjaan mendidik adalah mubasysyir wa nazir, al-muwa’iz, mu’allim, murabbi,
muzakki, dan da’i. Jika ayat-ayat yang mengandung kosa kata
tersebut dilihat dalam konteks pendidikan, maka seorang pendidik adalah orang
yang mendidik dan mengajar orang lain untuk memanusiakan manusia
(mensucikannya) dengan menginternalisasikan nilai-nilai kepada kepribadian
peserta didik terutama nilai-nilai tauhid, akhlak, ibadah dan mengajarkan
pengetahuan tentang berbagai hal. Sehingga dengan ilmu pengetahuan seperti itu
peserta didik akan terbimbing kepada jalan Tuhan. Bimbingan tersebut
dilaksanakan dengan hikmah, mauizah dan jidal al-ahsan. Sementara
pengetahuan yang dibimbingkan itu jika dikelompokkan dapat berbentuk
pengetahuan tentang ayat-ayat tanzili dan pengetahuan tentang ayat-ayat kauni.
An-Nahlawi, sebagaimana
dikutip oleh Ramayulis, berdasarkan al-Baqarah/2 ayat 129 yang berisi kosa kata
muzakki, menjelaskan bahwa seorang pendidik mempunyai tugas pokok yaitu:
(1) Tugas Pensucian, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik
agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhkannya dari keburukan, dan
menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya. (2) Tugas pengajaran, yakni
menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk
diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.
Perlu juga disebutkan,
bahwa berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut, subjek yang melakukan
pendidikan adalah Allah, malaikat, rasul dan manusia biasa. Tiga serangkai ini
bersifat struktur vertikal, yakni Allah sebagai pendidik utama, malaikat adalah
penyambung, rasul adalah orang yang diberi tugas khusus oleh Allah mendidik
manusia, dan manusia (‘ulama) sebagai pewaris (penerus) risalah (baca:
misi pendidikan) untuk mendewasakan manusia dan membangun masyarakat etik
(masyarakat berakhlak mulia).
Dalam salah satu surat
kelompok Madaniyah yakni ar-Rahman/55 ayat 1-4 secara eksplisit disebutkan
bahwa Ar-Rahman (Allah SWT) sebagai pendidik utama, yang telah mengajarkan
al-Quran dan kepandaian berbicara kepada Muhammad SAW. Dalam al-Qur`an
disebutkan:
الرحمن()
علم القران() خلق الانسان() علمه البيان()
(Allah) Yang Maha Pengasih. Yang telah
mengajarkan al-Qur`an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.
Kosa kata lainnya yakni
ahl al-zikr, ‘ulama, uli al-nuha, al-rasikhuna fi al ‘ilmi, ulul albab
dan al-faqih. Ayat-ayat al-Quran yang mengandung kosa kata yang disebut
terakhir menginplisitkan berbagai kualitas atau kecerdasan yang dimiliki
pendidik. Kualitas-kualitas dimaksud seperti pengetahuan yang dalam tentang
agama, pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial-humaniora dan pengetahuan kealaman.
Sebutan-sebutan berupa penamaan kualitatif tersebut sekaligus menunjukkan
perbedaan khas mereka dengan ilmuan lain pada umumnya. Kekhasan mereka terletak
pada kesepaduan ilmu yang dimilikinya, yakni integrasi antara ilmu kewahyuan
dan sains dalam bangunan zikir dan pikir mereka. Secara aksiologis, proses
pekerjaan ilmiah mereka berada dalam arah yang jelas yakni ma’rifatullah.
Itulah sebabnya dalam surat Fathir/35 ayat 28 disebut bahwa manusia yang
takut (khasyyah) kepada Allah hanyalah ulama (mereka yang berilmu).
Dalam al-Qur`an disebutkan:
“Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
Hasan al-Turabi,
menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, membuat pengertian ulama yang sangat menarik.
Ma’arif menejelaskan:
Dalam artikelnya yang dimuat dalam John L.
Esposito (ed.) Voice Resurgent Islam (1983) pada halaman 245, ia
menulis: “Apa yang saya maksudkan dengan ulama? Secara histories, perkataan ini
bermakna mereka yang punya kepakaran dalam hal warisan ilmu agama. Akan tetapi,
ilmu (‘ilm) tidak hanya bermakna itu. Ia bermakna siapapun yang
mengetahui secara dalam tentang sesuatu yang dikaitkan dengan Tuhan. Karena
semua ilmu adalah bercorak ilahiah dan agamis. Seorang ahli kimia, insinyur,
ekonom, atau seorang yuris, semuanya adalah ulama. Maka ulama dalam pengertian
yang luas ini, apakah mereka ilmuan sosial atau ilmuan kealaman, pemimpin
pendapat umum, atau filosof haruslah mencerahkan masyarakat.” Tegasnya, dapat
kita katakan bahwa seorang alim adalah seorang yang punya bekal ilmu yang cukup
untuk mencerahkan masyarakat, agar masyarakat menjadi kritis dan kreatif untuk
merealisasikan pesan-pesan kemanusiaan Islam.
Apa yang dijelaskan
oleh Ma’arif dengan mengutip al-Turabi di atas menurut hemat penulis
terinspirasi dari ayat al-Quran surat Fatir/35 ayat 28.
Dalam ayat, terdahulu Allah menjelaskan penomena kealaman
(manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan bintang-binatang ternak yang
bermacam-macam warnanya), yang juga menjadi objek pengetahuan manusia, baru
kemudian Allah memberi penegasan bahwa hanya ulama (orang-orang yang berilmu)
yang takut kepada Allah.
Pendapat yang
mengatakan bahwa istilah ulama pada Fatir/35: 28 di atas adalah “yang
berpengetahuan agama”, bila ditinjau dari segi penggunaan bahasa Arab, menurut
Quraish Shihab tidaklah mutlak demikian. Siapapun yang memiliki pengetahuan,
dan dalam disiplin apapun pengetahuan itu, maka ia dapat dinamai ‘alim.
Dari konteks ayat ini pun, diperoleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh ulama
adalah ilmu yang berkaitan dengan penomena alam.
Ulul albab dan uli al-nuha juga memiliki muatan keilmuan yang sama
dengan ulama. Isyaratnya cukup jelas dalam al-Quran bahwa ulul albab
dan uli al-nuha juga menjadikan alam (khalq as-samawati wa al-ard),
makhluk hewani dan sejarah kebinasaan umat terdahulu sebagai objek pengetahuan.
Karakter ulul albab adalah senantiasa zikr Allah (dapat dibaca:
pengetahuan ilahiyah) dan tafakkar (menggali pengetahuan) kealaman.
Zikir dan pikir, adalah dua aktifitas yang menyatu pada diri seorang muslim.
Pengetahuan yang diperoleh daru dua aktifitas ini akan mengantarkan ulul
albab kepada kesadaran akan kebesaran Allah dan ketauhidan yang tinggi
serta ketakutan kepada azab neraka. Dalam surat Ali Imran/3: 190-191
disebutkan:
“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan
bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab
neraka.”
Pada surah al-Mulk/67
(Makkiyah) ayat 1-4 yang secara kronologis lebih duluan diturunkan dari surat
Ali Imran (Madaniyah) disebutkan bahwa:
1. Maha Suci Allah yang di
tangan-Nyalah segala kerajaan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, 2.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, 3.
Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
4. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali
kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam
keadaan payah.
Dengan demikian,
pengetahuan tentang alam (ayat-ayat kauniyah) yang juga menjadi objek
pengetahuan mengantarkan manusia kepada puncak pencarian ilmu yaitu Allah Swt (ma’rifatullah).
Ahl al-zikr dan al-rasikhuna fi al-‘ilm dalam al-Quran sesungguhnya juga
memiliki kandungan makna yang sama dengan ‘ulama dan ulul alba dan
uli al-nuha. Namun secara khusus, ahl al-zikr disebutkan
dalam konteks pengetahuan kewahyuan, yakni tidak saja pengetahuan material
wahyu, tetapi juga pengetahuan kesejarahan tentang pewahyuan (informasi tentang
Nabi dan Rasul) Jadi yang disebut terakhir memiliki karakteristik ilmu yang
khusus yang membedakannya dengan ‘ulama, ulul alba dan uli
al-nuha, yaitu kedalaman pengetahuan atau ilmu keilahian (baca:
spiritualitas). Dalam surat an-Nahl/16 ayat 43 disebutkan:
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau
(Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Untuk memperkuat
argumen ini, frase zikr Allah (mengingat Allah) muncul dalam
banyak tempat di al-Quran, misalnya pada al-Ahzab/33: 21, al-A’la/87: 15, Ali
Imran/3: 135, asy-Syu’ara`/26: 227, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dalam
kaitan ini, Allah menjadi objek pengetahuan kognitif (karena Ia disebut-sebut/ zukira
Allah kasira) dan sekaligus pengetahuan spiritual (yakni penyebutan Allah
dengan menghadirkan qalb).
Sedangkan al-rasikhuna
fi al-‘ilm secara khusus disebutkan sebagai orang-orang yang yang sangat
mendalam ilmunya. Ke dalaman ilmu yang disebut terakhir adalah kapasitas mereka
yang bahkan mampu menangkap isyarat-isyarat mutasyabihat dalam al-Quran.
Dalam surat Ali Imran/3 ayat 7, al-rasikhuna fi al-‘ilm disepadankan
dengan ulul albab. Ayat tersebut sebagai berikut:
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur`an)
kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah
pokok-pokok Kitab (Al-Qur`an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat
untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam
berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur`an), semuanya dari sisi Tuhan kami.”
Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.
Perlu ditegaskan
kembali bahwa ulul albab disebut oleh Allah sebagai orang yang memiliki
kesadaran ilahiyah yang tinggi sebagai perwujudan dari zikir yang tidak pernah
lekang dan fikir yang terus-menerus. Al-rasikhuna fi al-‘ilm adalah
mereka yang memiliki karakteristik khusus sebagai puncak usaha yang sepadu
antara zikir dan fikir.
Berdasarkan penelusuran
terhadap ayat-ayat al-Quran yang mengandung kosa kata sebagai pendidik dapat
disimpulkan bahwa kosa kata ahl al-zikr, ‘ulama, al-muwaiz al-waizin, uli
al-nuha, mu’allim, al-muzakki, murabbi, al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul
albab dan ulu al-absar sesungguhnya memiliki makna yang saling kait
atau berjalin kelindan. Sebagaimana ditunjukkan di atas, terdapat beberapa kosa
kata yang memiliki makna hampir sama, tetapi ada pula kosa kata dengan
penekanan makna yang khusus. Dengan demikian, kosa kata yang beragam tersebut
tidak mungkin diperlakukan sendiri-sendiri atau parsial. Perlakuan yang seperti
ini akan menyebabkan makna yang dikandung oleh berbagai kosa kata tersebut
tidak akan terpahami secara utuh.
Secara garis besar, ayat-ayat
yang berisi beragam kosa kata tersebut menegaskan bahwa seorang pendidik
memerlukan berbagai kualitas dan dengan kualitas itu ia bekerja melakukan misi
mendidik. Misi ini berasal dari Allah sebagai pendidik utama, yang oleh Allah
menugaskan kepada para Rasul untuk merealisasikannya, dan para pendidik muslim
lainnya berperan sebagai pewaris Nabi untuk melanjutkan tugas pendidikan
manusia sehingga tercipta individu dan masyarakat yang berakhlak mulia.
Konseptualisasi Profil Guru Perspektif
al-Quran
Dalam analisis terhadap
ayat-ayat di atas, meskipun masih berserakan sesungguhnya telah tergambarkan
juga profil pendidik (guru) menurut al-Quran. Namun untuk memudahkan pemahaman
bagi pembaca, maka pada bagian ini penulis mencoba lebih sistematis menjelaskan
profil guru perspektif al-Quran.
Di bagian awal tulisan
ini dijelaskan bahwa secara sederhana profil guru dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu aspek pola sikap, pola pikir dan pola laku pendidik. Dalam istilah
lain adalah aspek akhlak/moral, aspek intelektual dan aspek skill/keterampilan
pendidik. Dalam bahasa pendidikan modern adalah aspek kompetensi pribadi
(personal), kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (paedagogik ).
Menurut al-Quran,
secara personal seorang pendidik adalah orang yang memiliki kecerdasan
spiritual, karena ia senantiasa zikir (mengingat) Allah dalam keadaan apapun.
Sebagai ahl al-zikr, ia memiliki pengetahuan sejarah para Nabi (sirah)
dan sejarah social umat terdahulu. Selain itu, seorang pendidik adalah juga
seorang ulama. yakni orang
yang kapabilitas keilmuannya bersepadu antara ilmu-ilmu ukhrawi dan duniawai.
Ilmunya utuh. Ia tidak mengenal dualisme keilmuan. Pengetahuannya tentang
kealaman, baik mikro atau makro kosmos disinari oleh pengetahuan keilahiannya.
Sebagai uli al-nuha ia memiliki spektrum pengetahuan yang luas. Tidak
hanya kealaman tetapi juga sejarah dan sosial. Penamaan lainnya seperti al-muzakki,
al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul albab, dan ulil al-absar juga
menegaskan kompetensi personal, juga kapasitas dan kapabilitas serta misi
propetis (nubuwwah) seorang pendidik.
Secara khusus penulis perlu menyebutkan bahwa,
berdasarkan inspirasi dari penjelasan Hamka bahwa sebagai muzakki,
seorang pendidik adalah orang yang bersih dari kebodohan dan kerusakan akhlak,
kotoran kepercayaan dan kemusyrikan. Dengan kualitas seperti ini menurut Hamka,
seorang muzakki diberi gelar sebagai umat yang menempuh jalan tengah
(moderat, pen.) di tengah umat-umat lain yang misinya mengajarkan kepada
manusia Kitab dan Hikmah, dan juga hal-hal (perkara-perkara) yang selama ini
tidak diketahui.
Seorang pendidik yang
juga dalam al-Quran diberi gelar rasikh fi al-‘ilm, senantiasa
memperdalam pengetahuannya dan berkonsistensi mengamalkannya. Hamka menjelaskan
bahwa seorang yang rasikh dalam ilmu semakin hari akan semakin
mengetahui hakikat ilmu, karena ia juga senantiasa membersihkan dirinya dengan
beribadah. Secara khusus, Hamka menjelaskan bahwa al-rasikhuna fi al-‘ilm
adalah:
… orang yang telah rasikh ilmunya,
artinya telah dalam, telah berurat, telah dianugerahi Tuhan segala kunci-kunci
ilmu. Maka menurut kebiasaannya, apabila orang yang telah amat mendalam
ilmunya, mengakuilah dia akan kekurangannya. Sebagaimana Imam Syafi’i yang
termasuk barisan orang rasikh, pernah berkata: Kullamā zādanī ‘ilman
zādanī fahman bijahlī. “Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku,
bertambahlah aku faham akan kejahilanku.”
Al-Quran yang juga
sumber ilmu, menurut Hamka merupakan jamuan yang secara metodologis dalam
memahaminya memerlukan kekuatan dan ketekunan intelektual yang dalam dan
pemikiran yang bersungguh-sungguh. Dengan cara demikian, seorang ulama’
akan dapat menjadi warasat al-anbiyā`.
Sebagai al-muwaiz
al-waizin, mu’allim, murabbi, seorang pendidik memiliki kompetensi
paedagogik untuk membimbing, mengarahkan bahkan menurut al-Quran menjaga
peserta didik agar menjadi manusia-manusia yang muslimin, mu’minin,
muhsinin, muttaqin, sabirin, mutawakkilin, muqsitin, mukhlisin,
at-tawwabin, mutatahhirin, muflihin, dan lain-lain. Menurut ahli didik
Muslim, profil ideal kepribadian Muslim yang menjadi tujuan akhir pendidikan
Islam adalah insan kamil.
Berdasarkan penelusuran
terhadap makna ayat yang mengandung kosa kata al-muwaiz
al-waizin, mu’allim, dan murabbi, maka dapat dirumuskan bahwa
guru harus memiliki kompetensi paedagogik yang:
1.
Mendidik dan mengembangkan
kecerdasan iman dan takwa (spiritual) peserta didik.
2.
Mendidik dan mengembangkan
kecerdasan akal-budi (intelektual) peserta didik.
3.
Mendidik dan mengembangkan
sikap ihsan (kecerdasan sosial) peserta didik.
4.
Mendidik dan mengembangkan
ketangkasan beramal (kecerdasan emosional) peserta didik.
5.
Mendidik dan mengembangkan
prilaku hidup sehat dan bersih (kecerdasan kinestetis) peserta didik.
6.
Menjaga peserta didik dari
berbagai hal yang destruktif yang mengundang murka Allah SWT.
D. Penutup
Secara umum, profil seorang pendidik
muslim dapat dilihat dari dua dimensi utama manusia, yakni dimensi ruhaniah dan
dimensi jasadiah. Dimensi ruhaniah berupa aspek-aspek akal-budi manusia, yakni
intelek, kemauan dan perasaan. Sedangkan dimensi jasadiah berupa aspek
perbuatan dan tingkah laku.
Berdasarkan kerangka
dasar seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa profil pendidik muslim adalah:
1.
Benar-benar manusia tauhid,
yakni beriman dan berakidah murni (mukhlisina lahu ad-din).
2.
Beribadah dengan taat
kepada Allah.
3.
Gemar membaca atau mencari
ilmu pengetahuan (ilmu duniawi dan ukhrawi).
4.
Memiliki bangunan keilmuan
yang utuh antara ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan ilmu keagamaan.
5.
Gemar melakukan karya-karya
konstruktif (amal saleh) sebagai manifestasi tugas kekhalifahan,
terutama pada tugas-tugas profesinya sebagai pendidik.
6.
Tidak berpuas diri dalam
ilmu (rasikh fi al-‘ilm) dan berorientasi keunggulan (fastabiq
al-khairat).
7.
Senantiasa mencari keridaan
Allah dalam tugas-tugas profesi dan di luar tugas profesi, yang
dibuktikan dengan tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi sebagai pendidik.
8.
Memandang profesi pendidik
sebagai bagian dari tugas kerisalahan dalam mengajak manusia (da’wah)
kepada jalan Allah (Islam).
9.
Senantiasa meneladani
Rasulullah dan berupaya menjadikan dirinya sebagai teladan bagi anak didiknya.
10. Memiliki pikiran yang luas dan lapang dada menerima kritik.
11. Memiliki kesadaran sebagai warasat al-anbiyā`.
12. Berpola hidup bersih dan
sehat.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar